July 06, 2008

My Ideal School HOGWARTS

Bisa ngebayangin bentuk sekolah modern yang paling ideal buat masa depan???

Tujuh buku Harry Potter selesai gue baca. Dan entah kenapa baru gue sadarin sekarang, model sekolah yang paling ideal buat perkembangan anak di masa depan itu bisa dicontoh dari tempat sekolahnya Harry Potter dan teman-teman Laskar Dumbledorenya, HOGWARTS.

Buat gue J.K. Rowling nggak cuma bikin hidup gue tambah berwarna dengan kenal karakter-karakter ajaib yang dia ciptain di serial (yang menurut pandangan pribadi gue) paling mendunia itu. Tapi bikin gue juga punya cara yang paling mudah untuk ngasih gambaran ke orang-orang awam tentang sekolah yang paling cocok buat masa depan.

Harry Potter and The Prisoner Of Azkaban, film keempat dari total tujuh film yang pasti bakal diselesaiin sama Warner Bros, bukan salah satu dari seven-logy movie Harry Potter yang gue suka. Bahkan nggak masuk daftar film yang gue suka untuk ditonton. Nonton film ini cuma sekedar pelengkap setelah membaca bukunya.

Tapi meski nggak begitu suka, gue udah berkali-kali juga nonton seven-logy Harry Potter ke-empat itu, dan waktu ditayang ulang di Trans TV hari ini, ngeliat adegan waktu Harry belajar menaklukkan Buckbeak the Hippogriff, dan ngeliat gimana antusiasnya 'Professor' Hagrid dalam ngasih petunjuk dan langkah-langkahnya, gue seakan-akan ngeliat diri gue dan anak-anak gue sendiri.

Salah, gue bisa ngebayangin bahwa itulah yang seharusnya terjadi dalam proses pembelajaran anak-anak gue yang gue fasilitasi prosesnya.

Salah satu bentuk kegiatan pembelajaran di Hogwarts itulah yang gue bayangin sebagai sebuah proses yang mendidik. Bukan cuma kegiatan itu, tapi sistem yang mendukung kegiatan pembelajaran itu jadi bisa berlangsung yang juga ambil bagian untuk dapat kekaguman dari gue (secara ya...jarang-jarang gue bisa kagum sama sesuatu).

Proses Harry mengenali Buckbeak sebagai binatang liar yang angkuh dan tahu etika (mirip-mirip Llama gitu kali ya???), dan cara Hagrid menyalurkan keingintahuan Harry, sama seperti sesuatu yang gue inginkan terjadi dalam proses belajar anak-anak gue.

Cara Hagrid menentukan apa yang harus dipelajari sama anak-anak Hogwarts di tahun ke-empat mereka. Itu hal lain yang jauh lebih gue inginkan untuk terjadi sama gue sebagai guru, atau gue boleh bilang, pendidik dan fasilitator.

Hagrid adalah professor yang baru dilantik tahun itu, dalam dunia non-sihir, itu lazim disebut sebagai Guru Baru...( yang asyik buat diplonco dan disuruh-suruh ngerjain tugas-tugas icik iprit, secara guru-guru baru yang lalu-lalu juga dibegituin. HMMPH!!! yang namanya adat turun-temurun walau kegiatan nggak beradab, di dunia yang ngakunya isinya orang-orang dewasa ternyata masih berlaku juga ya...hmmm,,,maaf yang baca jangan tersinggung... no offend, salah sendiri nangkring di Blog gue...)

Balik lagi ke dunia sihir. Walaupun Hagrid adalah Professor baru, yang pelantikannya 100% wewenang dan keputusan Professor Dumbledore (gue masih nggak paham, kenapa sih sekolah yang anak-anaknya umur SMP sama SMA, guru-gurunya dipanggil Professor?), tapi Professor Dumbledore (Selanjutnya untuk lebih memudahkan penulisan akan dipanggil Prof. Dumbly saja) memberikan kekuasaan penuh bagi Hagrid untuk menyusun dan menentukan sendiri kebutuhan belajar bagi anak-anak Hogwarts tahun ke-empat.

Walaupun banyak yang meragukan kapabilitas Hagrid sebagai Guru Pemeliharaan Satwa Liar, tapi Prof. Dumbly melihat dengan cara pandang yang berbeda. Cara pandang yang sangat gue inginkan untuk dimiliki para pembuat keputusan akhir soal pendidikan di negara ini.

Prof. Dumbly melihat bahwa kemampuan dan pengetahuan yang diniliki sama Hagrid soal Satwa-satwa Liar dan berbahaya adalah modal terbesar, dan notabene terbaik yang dimiliki Hagrid, untuk menyingkirkan semua saingan-saingannya untuk mengisi posisi sebagai Guru Pemeliharaan Satwa Liar.

Bagi Hagrid, tidak ada Satwa Liar yang berbahaya, semuanya sama. semua hanyalah satwa asing yang hidup disekitar anak-anak dunia sihir dan besar kemungkinan mereka temukan dalam kehidupan mereka sehari-hari setelah mereka keluar dari sekolah.

Dan itu adalah (gue rasa, meski gue agak sok tahu juga) alasan utama kenapa Prof. Dumbly memilih Hagrid sebagai guru Pemeliharaan Satwa Liar. Karena Hagrid dianggap paling mengerti dan paham apa kebutuhan anak-anak tentang perkembangan pengetahuan mereka mengenai satwa liar.

Prof. Dumbly tidak melihat metode yang digunakan Hagrid sebagai sesuatu yang ekstrem dan berbahaya serta bisa mengancam nyawa anak-anak didiknya. Sebaliknya, menurut gue, Prof Dumbly melihat bahwa semua itu adalah sesuatu yang harus diperhatikan dan diketahui sama anak-anak. Bahwa satwa liar memang berbahaya dan mereka harus tahu persis bagaimana cara mengatasinya.

DO IT, PRACTICE IT!!!

Hah, kagum gue sama sekolah yang ada di dunia sihir itu.

Kelasnya Hagrid, eh, Professor Hagrid hanyalah salah satu contoh aja dari bagaimana sistem pendidikan di dunia sihir dijalankan...

Selain kelas Sejarah Sihir sama Kelas Ramalan, pastinya...

Semua kelas di Hogwarts di-setting untuk selalu mengikuti perkembangan dunia sihir yang sesungguhnya di luar sana. Tanpa mengesampingkan bahwa saat Harry, Ron dan Hermione sekolah, dunia sihir sedang menghadapi perang mereka lawan Sihir Hitam...

Tapi sekolah itu, seandainya bener-bener ada di dunia nyata, bakal jadi sekolah favorit gue, bukan karena ada Ron Weasley, atau karena gurunya bisa ngajarin gue buka pintu tanpa harus pake kunci dan nerbang-nerbangin barang (secara juga gue cuma muggle yang kebetulan berdarah biru, nggak ngaruh juga sih)...

Tapi di situ gue diizinkan untuk memilih mata pelajaran apapun yang gue rasa butuh, kayak Hermione, tanpa harus mengikuti pakem jadwal belajar yang disediakan sekolah.

Dan gue juga bisa menikmati perkembangan dunia luar dari dalam sekolah dengan cara yang paling konkret, karena guru-guru gue selalu up-to-date dalam menyusun kurikulum dan rencana belajar buat gue.

Di awal tahun, meski terkesan mengotak-ngotakkan, tapi mereka sudah ditempatkan sesuai kemampuan dan keinginan alami mereka...

Harry, yang mungkin aja kecerdasannya secara umum hampir merata, karena punya sisi gelap yang secara alami ada di dirinya, selalu ingin menguasai dan memimpin, tapi punya keberanian dan ketegasan, nggak jadi masuk Slytherin tapi masuk Gryffindor...

Hermione...kalau menurut anak-anak Ravenclaw, lebih cocok masuk ke asrama itu, karena...rasa kesetiakawanannya tinggi dan punya jiwa petualang...malah jadi satu asrama sama Harry.

Kalau Ron Weasley, mungkin nggak usah ditanya ya...Weasley emang empatnya di Gryffindor...tempat orang-orang yang selalu setia dan selalu komit sama keputusannya.

Dari awal aja, anak-anak udah diberi kesempatan untuk menunjukkan jati dirinya, bukan dari kemampuan sihir yang dimiliki, tapi dari sifat-sifat alami yang udah jadi bagian dari dirinya...anak-anak di Hogwarts nggak dipandang sebagai individu yang sama, dan mereka tidak serta-merta pasrah di-Judge oleh orang dewasa, Harry memilih untuk tidak masuk ke Ravenclaw, dan dia dipandang berhak mengikuti pilihannya.

Kapan, anak-anak gue diberi kesempatan untuk bisa merasakan pendidikan seperti itu???

Dan gue inget banget di tahun kelima Harry, waktu dia juga harus ikut ujian OWL...Ordinary Wizarding Level...semua siswa Hogwarts ditanya pendapatnya tentang keinginannya selepas dari Hogwarts, apa yang dia inginkan, dan para professor yang berkepentingan di sana akan memberi saran terbaik soal kelanjutan sekolah mereka, dan apa yang harus dilakukan di masa depan,

What you learn is what you get and what you live.

SUGOI!!! AMAZING!!!

Mungkin ini bukan sesuatu yang besar, karena bisa jadi metode ini udah banyak diterapin sama sekolah-sekolah di eropa atau di amerika sono...

Karena J.K. Rowling kan dari Inggris...

Tapi beberapa kali gue baca, masih banyak juga masalah yang terjadi sama sistem pendidikan di Eropa yang kaku dan nggak jauh beda sama "Sistem Pukul Rata Anak-anak se-Indonesia pake UN bikinan Yusuf Kalla"-nya Indonesia.

Selepas sekolah di Hogwarts, mereka bisa dengan bebas menjadi apa saja yang sesuai dengan dirinya, kemampuan dasar yang dia miliki dan dia kembangkan dengan natural, bukan paksaan.

Nilai moral yang bisa gue ambil, Yusuf Kalla mungkin tidak membaca Harry Potter.

Kalaupun membca, gue rasa dia bukan penganalisis yang baik.

Karena seandainya ia adalah penganalisis yang baik dan nggak suka sok tahu seenak udelnya sendiri, maka gue yakin, UN akan dihapuskan dan sistem pendidikan di Indonesia akan segera dibenahi.

Hidup Pendidikan!!!!!