March 23, 2010

We are no Angel, nor a Devil

Have you ever felt, once in your entire lifetime, being pushed by someone. Able to do things that you never thought you will do?
---
Pernah terpikirkah kita sanggup melakukan sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya?
Karena seseorang, kita mampu berbuat yang tidak biasanya?
I’m not talking about good deeds here.
I’m talking about the bad one.
Bukan. Bukan sesuatu yang baik, tapi sesuatu yang kita pribadi golongkan sebagai sesuatu yang jahat dan tercela.
Yang sepanjang perjalanan hidup, kita tumbuh dengan percaya bahwa kita tidak akan memiliki daya untuk melakukan hal semacam itu
Pernahkah?
Aku rasanya pernah.

Aku rasanya tidak pernah sedemikian dalam merasa kecewa pada seseorang hingga ingin mengirimnya jauh-jauh ke dasar kerak neraka karena perbuatannya yang menyakiti orang yang sangat kucintai.
Tapi, itu terjadi juga padaku.
Ternyata aku sanggup memikirkannya.
Aku sanggup merasa benci pada seseorang.
Kecewa sedemikian dalam, hingga menyebut namanya dalam hati saja rasanya jijik.
Memikirkan perbuatannya saat menuliskan perasaan ini membuat dadaku sakit dan ingin menangis satu kali lagi.
Tapi membuang energi untuk menangisi akibat perbuatannya tidak akan mengembalikan sebuah hubungan pertemanan.

Aku rasanya pernah.
Berharap tidak pernah mengenal seseorang.
Tidak pernah mendenar suaranya.
Tidak pernah menatap wajahnya.
Tidak pernah tahu betapa ia akan mudah tertawa dengan komentarku yang menurutnya bodoh.
Betapa aku sekarang sering berandai-andai tidak pernah tahu tentang keberadaannya di muka bumi.
Tapi aku tahu itu tidak mungkin.

Menghabiskan banyak waktu untuk berharap sesuatu yang tidak baik terjadi pada seseorang, pernahkah?
Melenyapkan seseorang ke perut bumi dalam-dalam.
Setelah tahu bahwa ada manusia yang terlahir dari rahim seorang ibu, bisa menyakiti hati anak manusia yang lain sampai hancur berkeping-keping, hingga merasa tidak akan pernah bisa menyatukannya lagi.
Dengan sebuah kata misalnya.
Sebuah kalimat.
Sepotong SMS.
Sebaris kebohongan.

Rasanya kita dipaksa keluar dari zona putih tempat kita selalu berdiri dengan nyaman.
Kepala seperti mau meledak karena marah yang tidak tertahan.
Dada seperti disayat-sayat hingga menangis tidak mau berhenti, ditemani air kran kamar mandi yang tidak berhenti dikucurkan.

Ada kan manusia yang mampu membuat kita merasa seperti itu?
Dan herannya, biasanya manusia seperti itu berdiripun tidak jauh dari kita.
Begitu dekat malah, hingga bayangan kita bisa saling bersentuhan.
Biasanya mereka-mereka inilah yang mampu dengan mudahnya menggoyahkan pijakan kaki kita keluar menuju zona hitam yang tidak pernah kita kenal sebelumnya.

Dan sebelum kita sadar, kita telah mengasimilasi diri menjadi seperti mereka. Karena rasa sakit hati, benci dan dendam yang tidak mampu kita tanggung sendiri.
Lalu kita berbuat dan melangkah, mengambil keputusan yang kita coba percaya mampu melukai orang itu seperti ia menikam kita dari balik punggung. Tidak terlihat, sehingga rasanya jauh lebih perih.

We are no angel.
Nor a devil.
Kita bukan malaikat.
Tapi kita bukan iblis.
Itu sebabnya kita disebut manusia.
Karena kita bisa terluka, dikhianati, kecewa, merasa benci, lalu sedih menangis, kemudian memaafkan, tersenyum dan kembali tertawa.
Kita manusia, bukan malaikat.
Tidak sempurna, tidak bisa tidak berperasaan.
Kita manusia, bukan iblis.
Tidak tanpa nurani, dan mampu mengampuni.
Kita manusia.