April 03, 2010

Teman, hari ini kau membuatku sedih sekali.

Hari ini aku sedih sekali.
Aku sedih bukan karena kasihan pada diri sendiri.
Karena aku tidak pernah mengasihani diri sendiri.

Ini entah yang keberapa kalinya aku datang ke pernikahan teman tanpa ditemani pasangan.
Dalam hal ini, yang dimaksud pasangan adalah pacar, teman dekat atau calon suami.
Yang tentu saja harus berjenis kelamin laki-laki.

Rasanya aku biasa saja, bersiap-siap dan berangkat sendiri.
Menulis namaku sendiri di buku tamu.
Memasukkan amplop berisi uang hasil kerjaku, bertulisan namaku dan ucapan selamat berbahagia.

Kadang ingin kutambahkan.
Perjalananmu masih panjang teman, ini hanyalah awal.
Kau sangat berani menempuh jalan ini.
Aku sangat kagum padamu, kawan.

Tapi biasanya tidak pernah kutuliskan.
Mereka sedang berbahagia, apa jadinya jika membaca tulisan seperti itu di kartu ucapan selamat?

Aku biasa saja, menuju pelaminan mereka, mengucapkan selamat kepada kedua pasangan orang tua dan kedua mempelai.
Yang begitu kuat hati menasbihkan kehidupan sehidup semati.

Lalu seorang teman dengan pasangannya datang.
Bertanya, "Arum, sendirian?"
Aku jawab ya dengan tersenyum.
Tidak ada prasangka apa-apa.

Lalu dengan geli aku menambahkan sebuah kalimat.
"Arum baru sadar, jadi perempuan terakhir yang belum nikah di antara kita ya?"

Dengan tersenyum temanku menjawab, "Terakhir? Satu-satunya kali. Dan mungkin aku baru terima undangan Arum dalam waktu yang sangat lama. Kasihan ya?"

Aku terdiam.
Mungkin si teman hanya mengeluarkan gurauan.

Duh teman, bisa jadi buatmu itu hanya gurauan.
Tapi itu melukai hati temanmu hingga sangat dalam.

Aku bukan sedih lalu menangis karena belum berpasangan sekarang ini.
Aku lebih sakit dan terluka karena kalian memandangku sebagai mahkluk yang patut kau kasihani.
Aku punya pekerjaan yang kucintai setengah mati.
Aku melakukan hal-hal yang membuat hatiku senang dan tenang.

Mungkin aku sekarang ini tidak punya seseorang sepertimu.
Mungkin kau mengasihani aku karena menganggap aku tidak punya seseorang untuk berbagi.

Tapi kawan, tidak semua orang punya jalan hidup yang sama.
Aku tidak akan pernah mencela pilihan jalan hidupmu.
Jadi jangan kau cederai perasaanku dengan mencela jalan yang kupilih.

Aku tidak merasa salah.
Jadi, jangan kau salahkan aku.

Kau bilang aku tidak cantik, itu bukan alasan aku tidak segera punya pasangan kan?
Katamu aku terlalu judes, itu juga bukan alasan aku tidak segera punya pasangan kan?

Tapi teman, terima kasih.
Kau mengingatkan aku bahwa aku masih sendiri.
Dan aku bahagia karena sendiriku tidak menyedihkan.
Aku punya diriku yang bisa menjaga diri supaya tetap waras.
Aku bisa selalu bahagia dan membahagiakan diri sendiri.

Semoga, Tuhan tidak mendengar doamu yang ingin agar waktu yang kutunggu lama untuk menemukan jodohku.

March 23, 2010

We are no Angel, nor a Devil

Have you ever felt, once in your entire lifetime, being pushed by someone. Able to do things that you never thought you will do?
---
Pernah terpikirkah kita sanggup melakukan sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya?
Karena seseorang, kita mampu berbuat yang tidak biasanya?
I’m not talking about good deeds here.
I’m talking about the bad one.
Bukan. Bukan sesuatu yang baik, tapi sesuatu yang kita pribadi golongkan sebagai sesuatu yang jahat dan tercela.
Yang sepanjang perjalanan hidup, kita tumbuh dengan percaya bahwa kita tidak akan memiliki daya untuk melakukan hal semacam itu
Pernahkah?
Aku rasanya pernah.

Aku rasanya tidak pernah sedemikian dalam merasa kecewa pada seseorang hingga ingin mengirimnya jauh-jauh ke dasar kerak neraka karena perbuatannya yang menyakiti orang yang sangat kucintai.
Tapi, itu terjadi juga padaku.
Ternyata aku sanggup memikirkannya.
Aku sanggup merasa benci pada seseorang.
Kecewa sedemikian dalam, hingga menyebut namanya dalam hati saja rasanya jijik.
Memikirkan perbuatannya saat menuliskan perasaan ini membuat dadaku sakit dan ingin menangis satu kali lagi.
Tapi membuang energi untuk menangisi akibat perbuatannya tidak akan mengembalikan sebuah hubungan pertemanan.

Aku rasanya pernah.
Berharap tidak pernah mengenal seseorang.
Tidak pernah mendenar suaranya.
Tidak pernah menatap wajahnya.
Tidak pernah tahu betapa ia akan mudah tertawa dengan komentarku yang menurutnya bodoh.
Betapa aku sekarang sering berandai-andai tidak pernah tahu tentang keberadaannya di muka bumi.
Tapi aku tahu itu tidak mungkin.

Menghabiskan banyak waktu untuk berharap sesuatu yang tidak baik terjadi pada seseorang, pernahkah?
Melenyapkan seseorang ke perut bumi dalam-dalam.
Setelah tahu bahwa ada manusia yang terlahir dari rahim seorang ibu, bisa menyakiti hati anak manusia yang lain sampai hancur berkeping-keping, hingga merasa tidak akan pernah bisa menyatukannya lagi.
Dengan sebuah kata misalnya.
Sebuah kalimat.
Sepotong SMS.
Sebaris kebohongan.

Rasanya kita dipaksa keluar dari zona putih tempat kita selalu berdiri dengan nyaman.
Kepala seperti mau meledak karena marah yang tidak tertahan.
Dada seperti disayat-sayat hingga menangis tidak mau berhenti, ditemani air kran kamar mandi yang tidak berhenti dikucurkan.

Ada kan manusia yang mampu membuat kita merasa seperti itu?
Dan herannya, biasanya manusia seperti itu berdiripun tidak jauh dari kita.
Begitu dekat malah, hingga bayangan kita bisa saling bersentuhan.
Biasanya mereka-mereka inilah yang mampu dengan mudahnya menggoyahkan pijakan kaki kita keluar menuju zona hitam yang tidak pernah kita kenal sebelumnya.

Dan sebelum kita sadar, kita telah mengasimilasi diri menjadi seperti mereka. Karena rasa sakit hati, benci dan dendam yang tidak mampu kita tanggung sendiri.
Lalu kita berbuat dan melangkah, mengambil keputusan yang kita coba percaya mampu melukai orang itu seperti ia menikam kita dari balik punggung. Tidak terlihat, sehingga rasanya jauh lebih perih.

We are no angel.
Nor a devil.
Kita bukan malaikat.
Tapi kita bukan iblis.
Itu sebabnya kita disebut manusia.
Karena kita bisa terluka, dikhianati, kecewa, merasa benci, lalu sedih menangis, kemudian memaafkan, tersenyum dan kembali tertawa.
Kita manusia, bukan malaikat.
Tidak sempurna, tidak bisa tidak berperasaan.
Kita manusia, bukan iblis.
Tidak tanpa nurani, dan mampu mengampuni.
Kita manusia.

March 21, 2010

Bayi Dalam Jamban

Hari ini hari sabtu, tanggal 20 Maret 2010 (sudah tanggal 20an artinya delapan hari lagi waktunya tagih slip gaji … hehehe).
Tapi kali ini bukan waktunya curhat soal gimana ribetnya ngurus money account balancing yang tiap bulan selalu bikin pusing.
Itu urusan dalam negeri yang gak perlu dipublikasi ke khalayak ramai, kan?
Hehehe…

Baru saja, belum satu menit yang lalu, sambil menunggu waktu pulang dari piket PSB sabtu ini, di salah satu acara berita siang di sebuah stasiun televisi swasta, ada berita ygn bikin bulu kudk merinding disko dan perut jadi mual.

Eits, bukan,,,bukan lagi-lagi berita soal pemberantasan terorisme di serambi mekah, Aceh, atau heboh pengusutan kasus Bank Century yang semakin berputar-putar tidak jelas, bukan juga soal pak Susno Duaji yang dituduh mencoreng wajah POLRI dengan pernyataan-pernyataannya di media massa tentang markus yang menggerogoti tubuh kepolisian.

Bukan. Bukan berita sebesar itu, tidak seheboh itu kok.
Bahkan slot waktu penyampaian beritanya tidak lebih dari 30 detik saja.
Tapi 30 detik itu malah membuat berita itu sangat membekas di benak.

Di salah satu desa yang sepi, di ujung keramaian dan dinginnya kota Malang di Jawa Timur, seorang ibu tega membuang anaka kandungnya sendiri yang baru saja dilahirkan.

Nanti dulu kalau bilang bahwa sudah bisa dengar, baca dan nonton berita tentang orang tua yang membuang atau meninggalkan anaknya di depan pintu rumah panti asuhan, di pelataran masjid atau di pinggiran jalan raya dengan berselimut kain di dalam kardus.

Rasanya kalau dibandingkan dengan si Ibu dari Malang ini, list di atas bukan apa-apanya.
Gimana nggak?
Si Ibu dari malang yang identitasnya masih dalam penyelidikan kepolisian setempat itu tega membuang anaknya yang baru saja dilahirkan di dalam jamban.

Buat yang nggak tahu apa itu jamban,,,nih ya...Jamban itu kloset alias bolongan toilet.

Yah sekedar informasi tambahan, jangan dibayangkan juga jamban yang dimaksud adalah kloset toilet yang umum kita temui dalam kegiatan “ke belakang” kita sehari-hari. Bukan KIA atau Toto atau American Standard.

Ini tuh jamban di sebuah pelosok desa sepi di pinggiran kota Malang. Ini tuh jamban di sebuah “kamar mandi” (kalau bisa dibilang kamar mandi ya...) yang disetting untuk penggunaan massal dan tempatnya ada di luar bangunan tempat tinggal dan berjarak beberapa ratus meter dari keramaian.

Kamar Mandi dengan diapit dua tanda kutip itu tidak beratap dan dindingnya hanya terbuat dari jalinan bambu (kalau pinjam bahasa Jawa, ada namanya tuh, Gedek...). Itupun jalinan bambunya tidak rapat, sedikit berlubang-lubang gitu,,,bisa dibayangkan seperti apa?

Jauh dari bersih, malah nampak kumuh, kala kita sudah terbiasa menggunakan tempat buang hajat yang rapi dan nyaman.

Bisa dibayangkan betapa tidak manusiawinya si Ibu ini, anak yang baru saja dikeluarkan dari rahimnya langsung ditinggalkan beitu saja.

Kalau dilihat modus operandinya, kemungkinana besar si ibu tersebut malah menggunakan jamban desa tersebut sebagai tempatnya melahirkan si bayi laki-laki tersebut.

Tidak diketahui dengan jelas, kapan tepatnya bayi laki-laki tersebut dilahirkan. Karena letak jamban yang agak jauh dari rumah-rumah warga, tidak ada seorang wargapun yang mendengar atau mencurigai adanya perbuatan dosa yang sedang dilakukan tdak jauh dari tempat tinggal mereka.

Ajaib sekali, bayi laki-laki yang sehat, gemuk dan panjangnya 40 cm itu ketika ditemukan dalam keadaan yang masih hidup tapi mengenaskan, karena badannya sudah membiru dan bibirnya mengeluarkan cairan terus menerus.

Ketika secara swadaya warga membawanya ke puskesmas, ia akhirnya harus diletakkan dalam tabung semacam inkubator agar badannya hangat.
Karena besar kemungkinan ia sepanjang malam ditinggalkan dalam kondisi seperti itu.

Hah,,,ibunya mikir apa ya?
Kedinginan,,,tubuhnya tidak diselimuti kain apapun.
Mungkin ibunya terlalu panik, sampai tidak bisa berpikir sehat.
Tapi bener-bener deh, tega tingkat tinggi.
Meski belum jadi ibu (belum kepikir :6), tapi rasanya sangat tidak masuk akal memperlakukan seseoang yang masih ada hubungan darah dengan perilaku seperti itu.
Luar biasa sadis.

Jangan sampai, ketika berani berbuat suatu tindakan, akibatnya tidak mau ditanggung.

March 18, 2010

Jika Aku Menjadi : Luna Maya

Beberapa waktu yang lalu kasus tweet Luna Maya sempat menghebohkan jagad perbintangtelevisian di Indonesia, karena dianggap menghina dan melecehkan salah satu profesi tertentu, masih ingat?
Ketika itu yang ada di benaku adalah betapa manja dan tidak terhormatnya perilaku Luna Maya, karena berani terang-terangan menghujat dan berkata ksar di ruang publik. Kalau boleh pinjam istilah PPKN, sikap Luna Maya itu masuk ke dalam kategori perbuatan tercela.
Memang account Twitter yang dimiliki oleh Luna Maya adalah ruang pribadinya dan hak Luna Maya pula untuk menggunakan dan memanfaatkannya sesuka hati,
Tapi sayang sekali, tweet yang dipublikasi Luna Maya mampu dibaca oleh para followernya dan seta merta bikin heboh infotainment dalam rentang waktu yang tidak lama setelah tweet tersebut dipublikasikan.
Pendapat orang tentu saja ada di tiga ranah yang berbeda, Pro, Kontra dan ada di tengah-tengah. Yang Pro berusaha meyakinkan publik dan massa bahwa sikap Luna adalah hal yang wajar dan harus bias dimengerti. Tekanan yang begitu besar terhadap segala sisi kehidupan Luna Maya harus mampu dimengerti bahwa sanggup menimbulkan kenekatan Luna Maya untuk memasang tweet yang seperti itu isinya.
Publik yang menentang sikap Luna Maya, sebagian besar bersikap ekstrim dan berbalik merendahkan posisi Luna Maya. Dengan alasan bahwa tokoh masyarakat memiliki resiko diperlakukan berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Segala tindak tanduk yang dilakukan akan diamati dan diberi penilaian. Dan untuk kasus ini, boleh dibilang, Luna Maya harus tinggal kelas dan meremedial semua pelajaran yang pernah diberikan.
Buat beberapa orang yang mencoba bersikap bijak dengan mengatakan bahwa memang Luna tidak pantas bersikap seperti itu, akan tetapi karena tekanan yang bertubi-tubi, Luna Maya tidak sepatutnya dipersalahkan 100 % akan apa yang sudah terjadi.

Mana yang paling benar?
Hah, semua orang punya pendapat yang berbeda-beda.

Zaman sekarang, sulit untuk menemukan seseorang yang akan benar-benar sepaham dan memahami kita. Tidak bias dibayangkan bagaimana dengan Luna Maya.

Tapi karena satu kejadian yang baru-baru ini aku alami, aku harus berbalik arah dan mengubah opiniku tentang kasus Luna Maya tersebut. Aku harus menyampaikan bahwa pantas saja Luna Maya berbuat sedemikian rupa.
Bagaimana tidak jika ada orang atau sekelompok orang yang dengan tanpa berdosanya membicarakan mengenai diri kita di ruang umum, tanpa kita ketahui dan menimbulkan ketidaknyamanan menghinggapi alam sadar kita?
Benar-benar gangguan tingkat tinggi. SEBEL TO THE MAX!
Wajar jika sumpah serapah keluar sebagai bentuk uneg-uneg kekesalan terhadap apa yang dialami. Setiap detik, setiap waktu setiap saat, yang ingin dilakukan adalah marah dan menumpahkan emosi.
Sayangnya, seperti gerak kehidupan yang dibatasi oleh ruang dan waktu, manusia dibaasi oleh lingkungan dan pasal-pasal normatif kehidupan ikut serta di dalamnya. Untuk kemudian mengabaikan semua itu, bukanlah sesuatu yang mudah seperti membuat jus melon.
Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika ingin menumpahkan emosi dan kekesalan yang sudah memuncak di ujung gigi. Apa akibatnya di kemudian hari, bagaimana pandangan orang terhadap image kita yang selama ini sudah dibangun dengan susah payah?
Aku pribadi percaya satu hal, bahwa membalas orang yang merendahkan kita dengan cara yang sama, hanya akan membuat kita berada di level yang setara dengan mereka. Lebih buruk lagi, bisa jadi level kita drop ke dasar kerak kemanusiaan, hilang karena menghabisi emosi negatif dengan menyerang orang yang tidak kita sukai.
Kehabisan energi dan kehilangan harga diri.
Itu hal terakhir yang ingin kualami terjadi pada diriku.
Seandainyapun aku menjadi manusia terakhir yang tinggal di bumi, maka dua hal tersebutlah yang tetap akan kupertahankan.

Lagi-lagi manusia hanya dihadapkan pada pilihan, iya atau tidak, silakan atau jangan, boleh atau dlarang, bisa atau terhalang, kesal atau bahagia.
Jadi, sekarang silakan memilih, puaskah anda dengan mancerca dan mencaci makiny, kemudian sanggup dan siap menanggung segala resiko? Well, silakan. It’s your life anyway. I have no right whatsoever to hold your grudge.

March 17, 2010

Luka

Berangkat ke sekolah berubah dari merasakan kebahagiaan menjadi sebuah kerelaan dan akhir-akhir ini menjadi sebuah keterpaksaan.

Bukan sesuatu yang besar, setiap saat hal seperti itu akan terjadi di manapun kita menginjakkan kaki.

Setiap waktu, kita akan mengalami akibat dari perasaan meninggalkan dan ditinggalkan.

Setiap kali kita terluka karena tertusuk duri atau teriris pisau yang baru saja digunakan untuk mengiris bawang misalnya, ketika ujung tajamnya mulai menyayat kulit, mungkin kita belum begitu menyadari bahwa bagian dari tubuh kita telah terluka.

Biasanya, kita baru benar-benar tersadar bahwa ada luka menganga di ujung jari kita setelah beberapa saat. Dan perasaan tersadar itulah yang sesungguhnya lebih tidak disukai daripada luka itu sendiri.

Biasanya juga, disaat itulah kita mulai mengaduh, atau bahkan beberapa mulai menjerit kesakitan, lalu menangis.
Terkadang, bukan karena rasa sakit yang harus ditanggung. Keterkejutan karena sesuatu telah melukai anggota tubuh, dan melihat luka yang memerah karena darah.

Ketika antiseptik mulai dibubuhkan, apakah rasa sakit akan luka itu kemudian menghilang?
Oh, bukankah biasanya jeritan akan semakin keras?
Ketika setetes demi setetes cairan penghalang kuman memasuki sela-sela kulit yang terbuka, di saat itulah perasaan sakit semakin menjadi-jadi.
Ada kalanya sampai terasa hingga ujung kaki dan ujung kepala.
Menahan nafas dan berusaha tidak menangis adalah yang dilakukan jika kita beranjak dewasa.

Ketika pada akhirnya obat antiseptik itu mulai bekerja, perasaan sakit akan semakin menjauh dan perlahan menghilang, hingga akhirnya bersamaan dengan berjalannya waktu, semuanya tampak kembali seperti semula.
Bahkan dengan mudah kita bisa segera melupakan bahwa kita pernah terluka.

Tapi ada beberapa dari kita, manusia yang kemampuan regenerasi selnya tidak sebaik yang lain. Sehingga bekas luka dari tusukan duri atau sayatan pisau itu akan tetap disana, meninggalkan seberkas garis tipis yang jika dilihat akan kembali mengingatkan kita pada beberapa waktu yang lalu.

Beberapa dari kita, termasuk aku, akan dengan mudah mengasimilasi dan mengembalikan kembali perasaan sakit yang pernah dirasakan dulu sekali.
Dan jika dirasakan lagi, ingatan yang kembali itu akan berasa lebih sakit.
Seluruh bagian tubuh akan menolak untuk mengalami kembali perasaan semacam itu.

Akal sehat akan memerintahkan alam bawah sadar untuk menjauhkan diri dari segala hal yang dekat dengan si penyebab luka.
Tapi sebagian besar hal dalam hidup bisa melukai, bahkan selembar kertas putih tipis yang tergeletak lama tidak berdaya di ujung meja.
Apa yang bisa melukai dan menyakitimu, kau tidak akan pernah bisa menduganya.
Tapi rasanya akan sama saja.
Luka itu sakit.

Dan bekasnya yang tidak bisa hilang akan terus mengembalikan perasaan itu kepadamu setelah bertahun-tahun lamanya kau mencoba lupa.

Sel tubuh manusia mempunyai antibodi untuk setiap virus yang memasuki tubuh.
Jiwa manusia mempunyai kekuatan untuk menata kembali perasaan yang hancur berkeping-keping.
Kita hanya harus bertanya, apa yang kita inginkan untuk diri sendiri di masa yang akan datang.
Terus mengingat perasaan terluka, atau menyadari bahwa kita sebenarnya telah pulih.
Tidak seperti sedia kala, karena memang ada yang telah berubah.
Ada kalanya, kita menjadi lebih kuat dan berani.
Kita yang harus memilih

March 16, 2010

Unpredictable

A lot of things happened these days.
Sweet, Bitter, Annoying.
Yet, I try to taking those news positively.

For example, yesterday, when i entered the class, suddenly I felt devastated.
Well, that's just weird.
Because, I just realized how was my teachers feeling years back then, when I was in Junior High School.
I remember some of my teachers hold heir tears.
Maybe at that moment they felt sad to saw us, their students, finally passed the tests, and have to leave the school to reach our future.
I put my feet on their shoes right now.

It feels really weird.

I have to hold on to myself.

And then, I said to myself that being an adult is such a thing, while getting older physically is just one thing.

It is really difficult to be separated with a person that you love.

I learned that once. And I really learned A LOT.

From my first experience, I notice that losing someone in your life is just the part of life itself.

It's nothing.

Live must go on.

Each and every of us, devoted for our own path.
There's nothing we can complain about.

When I realize that people are making a move and take a step further, I take my self making the same step, it's just in a different way.
I don't want to be so judgmental about which path is better than others.

If they have a good will in reaching into something, than it is a good path.

And time is always come and by.
There's a time when we being a part in someone's life, and there's a time when we're apart.

But it's not a bitter thing.
It is a sweet thing actually.
Try to look at it from different angles.

Our beloved person is taking another step further for their good.
They want to feel better about their self.
And I believe that it is what life is all about.

Feel better about our own self.

And nobody have rights to hold that feeling.
As long as it doesn't hurt other people feelings.

It is believable.
I'm gonna be just okay.
I don't have to release anything.
Because, it's not you leaving me.

It's us making our way.

Be good in the future.

I can't ask for more.

March 12, 2010

After A Very Long Pause

After a very long pause...
After I hold my own self to write something.
I finally have another courage to push myself to write something(which I don't really know, where does it come from).
I really have to write things down more and more.
Because lately I tend to be more and more offensive to others.
This tongue just getting more and more sharp.
Not only my tongue, my word in the virtual world also tend to be more bitter rather than just a word about something.
I find my update status, my tweet and my prol ... offend a person or maybe a lot of persons.
And when I look back, the word did not came out just like changing clothes.
I always did it in purpose.
I think really deep about any words that came from my fingers.

And that is terrible, because it affected my daily words.
I became a very offensive person.
Well, I think it is good for me to be an outspoken person. To be someone that always speak their mind. The only problem is if that I came the word out with rude word plua a lil' attitude.
I really do have that ability to make people uncomfortable by my existence.
I have that sharp look with the eye and cocky face.
God, I can't helped it.
I do try to smile always, like all the time.
It's just can't happen so easily.

And these days, I thought that maybe, one of the reason that I become more and more offensive with my word is because I stop my personal therapy so suddenly.
I stop writing, because I think I'm getting better and better, maintaining my emotions.

In some way of my life, I have to say yes.
Considering that I have to work in a very crowded environment.
I have to met a lot of character and kind of person.
At first, I kinda confuse.
Is it just me, or everybody ever feel the same way?
Is living with a lot of kind of people is always like this?
I love what I do.
I really really do.
It is just because, I can't stand to put an electric bomb in my head and turn the detonator on.

Really, everything around is really confusing.
I'm confused, and that lead me to become inconvenience with the environment, and later, I feel uncomfortable with my won self.
God, wonder why the feeling of living this life with another people would feel like this.

I feel like I can't control my emotions during the day.
And what I do is escape to the bathroom.

It is funny.

Bathroom is always being a very supportive spot in my life.
Not to mention when I have to deal with 'everyday tears' few years back.
I always go to the bathroom every time I feel devastated and sick.
Indeed, bathroom is a chamber full of psychotherapy.

The lack from everything around is that I cannot always write down my emotions every single time I get emotional.
It's like no time for myself.
Always have to taking care of others problem.

I think I'm just tired.
It's time for me to start really think about my feelings.
And writing it down

November 01, 2009

Mengapa aku harus bertahan?







Quality Time hari sabtu kemarin, memang tidak kuhadiri sampai selesai.
Tapi dari semua Quality Time yang pernah kuhadiri, kemarin adalah yang paling berkesan, tidak tahu ya apakah itu yang terbaik atau bukan.

April 22, 2009

Lose Myself

Cape banget...


Lose control.Lose energy.Lose focus.
Lose my everything???
Nope...
I'm just losing a part of me...

It's just where did it go?
Where can I find it again?
Is it replaceable?

How long can I hold on like this?
Am I that strong?
I don't think so...

It's not like how it appears...

Hate that it's not kind of thing that I can wish to be here at this moment...

be Patient...

be Patient..

be Patient.

It sucked me in to a deep hole
I can't even freed myself from it
It closed...
I burned deep inside it...

I'm tired...

Just need you to come back right next to me...

April 20, 2009

Sunny...



My Sun...
Ini bukan judul lagunya Agnes Monica...
Mmmmm...emang sih, mirip dan sedikit terinspirasi dari lagu itu
Ada beberapa bagian dari lagu itu yang bener buat gue...





Orang yang kita cintai itu bisa dianalogikan sebagai 'Centre of our Universe'
Bintang dan Matahari kita,,,
Tapi kalau terlalu cinta, dan jaraknya terlalu dekat, ya panasnya bisa membakar dan menyakitkan...

Dan kita gak bisa punya dua matahari...
Panasnya dobel kan?
Sakit banget pastinya...

Kalau gak kuat menahan panasnya matahari...
Apa sebaiknya kita mencari bulan saja?
Tapi bulan kan dapat sinar dari matahari...

Atau belajar menerima kalau memang harus hidup dalam umbra,,,
Ga ada sinar matahari apalagi sinar bulan...
Cuma ada satu lentera kecil yang ada di ujung ruangan...
Suatu saat lenteranya bisa meredup, tapi kalau kita usaha,,,
Kita bisa lagi menyelakan sinar lentera itu...
Jadi kuasa pencahayaan hati ada di kita sendiri...

Tapi itu kalau kita memang cukup kuat kan, untuk memastikan bahwa lenteranya akan terus menerus menyala?
Kalau nggak?

Kalau memang semua kembali kepada diri kita,,,
Kapan gue bisa memulai untuk menjadi diri sendiri?
Kaya gimana sih diri gue sendiri itu?
Yang mana dari semua yang ada di gue yang memang diri gue sendiri?

Apa gue cukup kuat untuk hidup tanpa Matahari?
Normalnya manusia kan nggak ya?
Tapi Matahari gue udah berpindah tata surya...
Dia lebih memilih untuk menyinari semesta lain...

Bulan atau Matahari?
Sampai disinikah?